Sambutan Kepala Sekolah

Sambutan Kepala Sekolah

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat memiliki website sekolah. Kami berharap, website ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan eksistensi sekolah kami di tengah masyarakat serta menunjang peningkatan mutu pendidikan.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak, baik para pengajar, staf dan karyawan di sekolah ini yang telah banyak membantu kami dalam menyelesaikan pembuatan website sekolah ini. Kami menyadari bahwa website ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan atau saran yang bersifat membangun demi kebaikan dimasa yang akan datang.

Akhir kata, semoga website ini mampu mendukung sekolah kami untuk lebih maju, membantu proses pembelajaran dan memudahkan kami dalam mengelola administrasi serta keuangan (BOS) demi tercapainya sekolah yang unggul, terdepan dan berprestasi.

Visi : "Terwujudnya pranata sosial yang kuat untuk menjadi manusia yang berkualitas, berakhlaq mulia, cerdas, terampil, serta unggul dalam prestasi" Misi :
  1. Menciptakan lingkungan sekolah yang bersih, nyaman, indah sehingga tercipta iklim belajar yang kondusif.
  2. Menumbuhkembangkan kehidupan sekolah yang berlandaskan pada ajaran agama yang dianut masing - masing.
  3. Melakukan proses belajar mengajar dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching and learning).
  4. Menumbuhkan semangat baca untuk menambah wawasan pengetahuan.
  5. Meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan teknologi dalam kegiatan pengajaran.
  6. Melaksanakan ekstrakurikuler untuk mengembangkan bakat dan potensi siswa.
Tujuan :
  1. Menjadi sekolah dasar unggulan dan pilihan masyarakat untuk membentuk generasi pelajar yang berkualitas, cerdas dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
  2. Menjadi sekolah yang berstandar Nasional dengan sarana prasarana yang memadai dan sistem pendidik yang berstandar.
  3. Menghasilkan lulusan yang intelektual dan agamis serta dapat melanjutkan ke jenjang SMP favorit.
  4. Menjadikan lingkungan sekolah yang berkualitas dan nyaman sehingga berdampak positif terhadap kehidupan sekolah dan masyarakat.

Selasa, 14 Februari 2012

PENGELOLAAN KELAS

PENGELOLAAN KELAS

A. PENDAHULUAN
Harapan yang tidak pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran yang disampaikan guru dapat di kuasai oleh anak didik secara tuntas. Ini merupakan masalah yang cukup sulit yang dirasakan oleh guru. Kesulitan itu di karenakan anak didik bukan hanya sebagai individu dengan segala keunkannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan. Paling sedikit ada tiga aspek yang membedakan anak didik yang satu dengan yang lainnya, yaitu aspek intelektuals, psikologis dan biologis.
Ketiga aspek tersebut diakui sebagai akar permasalahan yang melahirkan bervariasinya sikap dan tingkah laku anak didik di sekolah. Hal itu pula yang menjadi tugas yang cukup berat bagi guru dalam mengelola kelas dengan baik. Keluhan-keluhan guru sering terlontar karena hanya masalah sukarnya mengelola kelas, tujuan pengajaranpun sukar untuk dicapai. Hal ini kiranya tidak perlu terjadi, karena usaha yang dapat dilakukan masih terbuka lebar. Salah satu caranya adalah dengan meminimalkan jumlah anak didik di kelas dan penataan ruang kelas.
Pengelolaan kelas yang baik akan melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Dengan tercapainya tujuan pembelajaran, maka dapat dikatakan bahwa guru telah berhasil dalam mengajar. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar tentu saja diketahui setelah diadakan evaluasi dengan seperangkat item soal yang sesuai dengan rumusan beberapa tujuan pembelajaran. Sejauhmana tingkat keberhasilan belajar mengajar.
Demikianlah beberapa permasalahan yang diuraikan secara umum untuk memberikan pemahaman awal.

B. PENATAAN RUANG KELAS
Agar tercipta suasana belajar yang menggairahkan, perlu diperhatikan pengaturan/penataan ruang kelas belajar. Penyusunan dan pengaturan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak duduk bekelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk membantu siswa dalam belajar. Dalam pengaturan ruang belajar, hal-hal berikut perlu diperhatikan :
- ukuran dan bentuk kelas
- bentuk serta ukuran bangku dan meja siswa
- jumlah siswa dalam kelas
- jumlah siswa dalam setiap kelompok
- jumlah kelompok dalam kelas
- komposisi siswa dalam kelompok (seperti siswa yang pandai dan kurang pandai, pria dan wanita)
(Conny Semawan,dkk., 1985 ;64)
Dalam masalah penataan ruang kelas ini uraian akan di arahkan pada pembahasan masalah pengaturan tempat duduk, pengaturan alat-alat pengajaran, penataan keindahan dan kebersihan kelas, dan ventilasi serta tata cahaya. Tetapi yang akan di bahas pada makalah ini hanya tentang pengaturan tempat duduk.

C. PENGATURAN TEMPAT DUDUK
Dalam belajar siswa memerlukan tempat duduk. Tempat duduk mempengaruhi siswa dalam belajar. Bila tempat duduknya bagus, tidak terlalu rendah, tidak terlalu besar, bundar, persegi empat panjang, sesuai dengan keadaan tubuh siswa. Maka siswa akan dapat belajar dengan tenang.
Bentuk dan ukuran tempat yang digunakan sekarang bermacam-macam, ada yang satu tempat duduk dapat di duduki oleh seorang siswa, adapula satu tempat diduduki oleh beberapa orang siswa. Sebaiknya tempat duduk siswa itu ukurannya jangan terlalu besar agar mudah di ubah-ubah formasinya. Ada beberapa bentuk formasi tempat duduk yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Apabila pengajaran itu akan ditempuh dengan metode ceramah, maka tempat duduknya sebaiknya berderet memanjang kebelakang.
Sudirman N (1991 ;318) mengemukakan beberapa contoh formasi tempat duduk, yaitu posisi berhadapan, posisi setengah lingkaran, dan posisi berbaris ke belakang. Masalah ini sebnarnya akan berhubungan dengan permasalahan siswa sebagai individu dengan perbedaan pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Tetapi, di dalam perbedaan dari ketiga aspek itu ada juga terselip persamaannya.
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (1991 ; 108) melihat siswa sebagai individu dengan segala perbedaan dan persamaannya. Pada intinya berisikan ketiga aspek di atas. Persamaan dan perbedaan dimaksud adalah :
1.Persamaan dan perbedaan dalam kecerdasan (inteligensi).
2.Persamaan dan perbedaan dalam kecakapan
3.Persamaan dan perbedaan dalam hasil belajar
4.Persamaan dan perbedaan dalam bakat
5.Persamaan dan perbedaan dalam sikap
6.Persamaan dan perbedaan dalam kebiasaan
7.Persamaan dan perbedaan dalam pengetahuan/pengalaman
8.Persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri jasmaniah
9.Persamaan dan perbedaan dalam minat
10.Persamaan dan perbedaan dalam cita-cita
11.Persamaan dan perbedaan dalam kebutuhan
12.Persamaan dan perbedaan dalam kepribadian
13.Persamaan dan perbedaan dalam pola-pola dan tempo perkembangan
14.Persamaan dan perbedaan dalam latar belakang lingkungan.
Berbagai persamaan dan perbedaan kepribadian siswa di atas, berguna dalam membantu usaha pengaturan siswa di kelas. Terutama berhubungan dengan masalah bagaimana pola pengelompokan siswa guna menciptakan lingkungan belajar aktif dan kreatif, sehingga kegiatan belajar yang penuh kesenangan dan bergairah dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.
Penempatan siswa memerlukan pertimbangan pada aspek postur tubuh siswa, dimana menempatkan siswa yang mempunyai tubuh tinggi atau rendah, dimana menempatkan siswa yang mempunyai kelainan

D. PENUTUP
Suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur anak didik dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Juga hubungan interpresonal yang baik antar guru dan anak didik dan anak didik dengan anak didik, merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif.







DAFTAR PUSTAKA
Dimyati dan Mudjiono, 1999 “Belajar dan Pembelajaran”, Cetakan Pertama, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Suharsimi Arikunto, 1980 “Pengelolaan Kelas dan Siswa” Cetakan Kedua, Jakarta : Penerbit Rajawali

Suharsimi Arikunto, 1993 “Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi”, Cetakan kedua, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Syaiful bahri Djamarah dan Aswan Zain, 1997, “Strategi Belajar Mengajar”, Cetakan Pertama, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.

Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.

MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.

Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.

Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.

Batasan masalah :
1. Apa itu Manajemen Sekolah
2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan

1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.

Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah

3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS

MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.

Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?

Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.

MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.

Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.

Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.

Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.

Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.

Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.

5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.

Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

6. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.

Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.

Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.

Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.

Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.

Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.

Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.

Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan swasta.

Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.

Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah

Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.

Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.

Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.

8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.

Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.

Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.

Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.

Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).

Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.

9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

Kesimpulan.

Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.

Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).

Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu dengan pendidikan dapat diwujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga terpeliharanya kelangsungan pembangunan untuk menuju kejayaan, keluar dari kebodohan dan kemiskinan. Dengan demikian pendidikan mutlak dilaksanakan, ditumbuhkan dan dikembangkan.
Sehubungan dengan cita-cita tersebut pemerintah telah merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3 yang bunyinya: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Untuk mencapai fungsi dan tujuan itu salah satu unsur yang tidak dapat ditinggalkan adalah peran serta masyarakat. Bukan saja fungsi dan tujuan pendidikan yang lambat tercapai, mutu pendidikanpun tidak sesuai dengan yang dinginkan apabila tidak adanya peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat menjadi penting karena pendidikan merupan kegiatan yang berlangsung di tengah masyarakat itu sendiri, bahkan dilakukan oleh masyarakat dan dimanfaatkan pula oleh masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan dapat dipengaruhi oleh masyarakat dan hasil pendidikan akan mempengaruhi masyarakat. Pengaruh masyarakat terhadap pendidikan tidak saja terhadap lembaga pendidikaan saja, tetapi juga terhadap individu perserta didik (Bimo Walgito, 1977:49). Berarti pendidikan dan masayarakat merupakan suatu pertalian yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan berasal dari masyarakat dan masyarakat berasal dari pendidikan.
Pendidikan atau sekolah mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat karena saling membutuhkan satu sama lain (Made Pidarta, 2007:182). Dengan demikian pendidikan mempunyai kepentingan terhadap masyarakat dan masyarakat mempunyai kepentingan terhadap pendidikan. Selain berkepentingan terhadap hasil pendidikan, masyarakat juga berkepentingan terhadap lembaga pendidikan seperti sekolah yang merupakan tempat untuk mewariskan kebudayaan masyarakat kepada anak (Abu Ahmadi, 2004:186). Selain itu selama ini peran serta masyarakat terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan hanya terbatas pada dukungan dana, padahal peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas (Wildan Najin Fiddin, 2008:1). Jadi untuk memajukan pendidikan, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan.

B. Rumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan adalah apa ruang lingkup peran serta masyarakat dalam pendidikan ?

C. Tujuan

Mengetahui ruang lingkup peran serta masyarakat dalam pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peran Serta dan Masyarakat

Resbin L. Sihite (2007:16) mengemukakan bahwa peran serta adalah berbagai aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam suatu program atau kegiatan tertentu, sehingga bermakna dalam pencapaian tujuan. Menurutnya wujud dari peran serta yang diberikan dapat berupa pemikiran, tindakan, sumbangan dana atau barang yang berguna bagi program ataupun pencapaian tujuan. Ia juga mengemukakan pengertian masyarakat sebagai sekelompok orang yang hidup dalam daerah khusus.
Yusufhadi Miarso (2004:706) menggunakan istilah partisipasi untuk mengatakan peran serta. Partisipasi menurutnya merupakan hal turut serta dalam suatu kegiatan. Pengertian masyarakat menurutnya adalah kumpulan individu yang menjalin kehidupan bersama sebagai suatu kesatuan yang besar, yang saling membutuhkan, memiliki ciri-ciri yang sama sebagai kelompok.
Istilah masyarakat dalam UU No.20 Tahun 2003 diartikan sebagai kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan adalah aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bidang pendidikan dengan tujuan untuk memajukan pendidikan dengan cara-cara tertentu. Kelompok orang yang dimaksud dapat berupa masyarakat yang berhubungan langsung dengan pendidikan seperti orang tua siswa yang tergabung dalam komite sekolah, masyarakat luas yang tergabung dalam dewan pendidikan, dunia usaha seperti badan-badan usaha yang dapat berpartisipasi dalam program Manajemen Berbasis Sekolah, penyelenggara pendidikan nonpemerintah, dan sebagainya.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan, sedangkan Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua atau wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

B. Ruang Lingkup Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan

Resbin L. Sihite (2007:15) mengemukakan tujuh peran serta masyarakat dalam pendidikan yaitu:
  1. 1. Sebagai sumber pendidikan
  2. Sebagai pelaku pendidikan
  3. Pelaksana pendidikan
  4. Pengguna hasil pendidikan
  5. Perencanaan pendidikan
  6. Pengawasan pendidikan
  7. Evaluasi program pendidikan.
Sedangkan Umar Tirtarahardja dan La Sulo (2005:179) mengemukakan kaitan antara masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, mempunyai peran dan fungsi edukatif, dan masyarakat sebagai sumber belajar.
Dua pendapat tadi menggambarkan lingkup peran serta masyarakat secara menyeluruh mulai dari perencanaan sampai evaluasi. Nampak bahwa masyarakat dan pendidikan saling berkaitan dan saling topang. Sehingga keberhasilan pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dan pemerintah terjun langsung ke tengah-tengah dunia pendidikan atau dapat dikatakan masyarakat turut berpartisipasi dalam pendidikan dan pemerintah memberikan dorongan berupa peraturan atau perundang-undangan.

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan dikemukakan oleh Yusufhadi Miarso (2004:709) bertujuan untuk:
  1. Terbentuknya kesadaran masyarakat tentang adanya tanggung jawab bersama dalam pendidikan.
  2. Terselenggaranya kerja sama yang saling menguntungkan (memberi dan menerima) antara semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan.
  3. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya, meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan seperti dana, fasilitas, dan peraturan-peraturan termasuk perundang-undangan.
  4. Meningkatkan kinerja sekolah yang berarti pula meningkatnya produktivitas, kesempatan memperoleh pendidikan, keserasian proses dan hasil pendidikan sesuai dengan kondisi anak didik dan lingkungan, serta komitmen dari para pelaksana pendidikan.
Begitu pentingnya peran serta msyarakat atau partisipasi masyarakat ini, maka UU No. 20 Tahun 2003 begitu banyak mengemukakan hal tersebut, yaitu sebagai berikut.
  1. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan, logika, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (Bab III, pasal 4 ayat 6)
  2. Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 2)
  3. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (Bab IV, pasal 6 ayat 7)
  4. Masyarakat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 8)
  5. Masyaraakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. (Bab IV, pasal 6 ayat 9)
  6. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (Bab XV pasal 54 ayat 1)
  7. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.(Bab XV pasal 54 ayat 2)
  8. Ketentuan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud poin 6 dan 7 diatur dengan peraturan pemerintah. (Bab XV pasal 54 ayat 3)
  9. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Bab XV Bagian II pasal 55 ayat 1-5)
Selain peraturan atau UU seperti di atas sebetulnya peran serta masyarakat dalam pendidikan sudah merupakan tradisi budaya. Norma adat sebetulnya lebih kuat dari pada kebiasaan atau norma lainnya. Beberapa norma sosial yang dapat diidentifikasi dan hidup di lingkungan masyarakat bangsa Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh dunia pendidikan adalah sebagai berikut (Yusufhadi Miarso, 2004:71).
  1. Musyawarah dan mufakat
  2. Gotong royong
  3. Kebersamaan
  4. Kepatuhan
  5. Tenggang rasa
  6. Keterbukaan
  7. Keteladanan
  8. Tolong menolong
C. Masyarakat sebagai Sumber, Pelaku dan Pelaksana Pendidikan

Masyarakat merupakan sumber belajar, artinya banyak hal yang dapat diambil dari masyarakat untuk kepentingan pendidikan. Walaupun suatu masyarakat punah, tetapi peninggalan-peninggalan dari mereka masih dapat diambil, baik ilmunya, kebudayaannya, dan sebagainya. Peninggalan-pweninggalan tersebut tentu berguna bagi seorang sejarahwan atau arkeolog. Masyarakat dari berbagai tingkat maupun golongan dengan berbagai profesi dan keahlian, dengan berbagai suku, bangsa, adat istiadat dan agama, keberadaan dan aktivitas kehidupannya merupakan fenomena yang unik yang kompleks penuh dengan persoalan menarik yang menjadi sumber atau obyek pembelajaran bagi siapa saja yang mau mempelajarinya (Resbin L. Sihite, 2007:17).
Masyarakat juga sebagai pelaku pendidikan, artinya baik perorangan atau kelompok masyarakat bertindak selaku pembelajar. Pendidikan memang ditujukan kepada masyarakat sejak seorang manusia mulai dapat belajar sampai akhir hayatnya. Bentuk pendidikan yang dapat ditempuh oleh masyarakat dapat berupa pendidikan formal maupun nonformal. Hal ini mereka lakukan karena mereka memiliki rasa ingin tahu, sikap disiplin, dan memiliki daya juang yang tinggi. Pendidikan formal yang mereka tempuh mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan nonformal yang dapat mereka tempuh seperti kursus-kursus, lembaga pelatihan, majelis taklim, dan sebagainya.
Sebagai pelaksana pendidikan, masyarakat melakukan kegiatan penyelenggara dan pembina pendidikan serta sebagai pelaksana pendidikan. Penyelenggara dan pembina pendidikan bertugas membuat peraturan perundang-undangan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembinaan di bidang pendidikan. Tugas ini tentunya diemban oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Apa yang diatur oleh Depdiknas menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, walaupun ada peraturan ataupun kebijakan yang memang dilakukan oleh pihak propinsi atau kabupaten/ kota secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangannya. Hal ini mengingat pemberlakukan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Sedangkan pelaksana pendidikan melakukan tugas penyelenggaraan kegiatan proses belajar baik pada lembaga formal atau nonformal.
Dalam dua lembaga inilah baik penyelenggara maupun pelaksana pendidikan, masyarakat dapat terjun atau berpartisipasi mendarmabaktikan dirinya dalam dunia pendidikan.

D. Masyarakat sebagai Pengguna, Perencana dan Pengawas, serta Pengevaluasi Pendidikan

Lulusan pendidikan tentu akhirnya akan terjun ke masyarakat, dan masyarakatlah yang menjadi pengguna hasil pendidikan. Mereka akan menerapkan ilmu yang telah mereka peroleh di lembaga pendidikan itu di masyarakat. Mereka akan memasuki dunia kerja, dan yang menjadi pengguna tenaga kerja atau lulusan itu adalah masyarakat, baik pemerintah, pasar (industri) ataupun masyarakat lainnya. Di pemerintahan, mereka akan memasuki bidang pekerjaan eksekutif (menjalankan roda pemerintahan) atau legislatif (yang mengawasi pemerintah). Di dalam perusahaan, mereka secara garis besar akan memasuki bidang pekerjaan formal dan informal. Sedangkan di dalam dunia industri, mereka akan terjun baik industri barang ataupun jasa.
Dari uraian di atas nampak bahwa masyarakat baik pemerintah, industri, perusahaan dan sebagainya merupakan pengguna hasil pendidikan. Apabila hasil pendidikan tidak bermutu, maka yang akan menerima akibatnya itu adalah masyarakat juga. Untuk itu perlu kiranya ada kesesuaian antara program layanan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mendapatkan kesesuaian itu maka perlu pula kerja sama antara lembaga pendidikan dan masyarakat.
Yang dapat dilakukan masyarakat sebagai perencana pendidikan adalah dalam bentuk pemberian ide atau masukan pemikiran yang bermakna untuk mendukung bagi tersusunnya perencanaan yang baik. Keberadaan masyarakat agar berperan aktif sangat diharapkan baik dalam penyampaian informasi atau terlibat langsung dalam diskusi-diskusi penyusunan perencanaan yang sangat penting, sehingga tuntutan akan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja bersesuaian (link and match).
Untuk melaksanakan ini, nampaknya keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sangat diperlukan. Dewan Pendidikan baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi atau nasional diharapkan dapat menjadi wadah untuk menyerap aspirasi masyarakat yang menjadi bahan dalam penyusunan kebijakan strategis dan operasional. Begitu pula kehadiran komite sekolah diharapkan akan memberikan masukan dalam penyusunan program-program teknis di tingkat sekolah.
Pengawasan pendidikan yang dikakukan oleh masyarakat dimaksudkan untuk pengendalian agar pelaksanaan program dapat terjamin sesuai dengan perencanaan. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Permasalahannya adalah sejauh mana Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah bekerja sebaik-baiknya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat tersebut.
Evaluasi program pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana ketercapaian program dan manfaat program bagi pencapaian tujuan pendidikan Sehubungan dengan itu masyarakat baik orang tua atau pengguna lulusan tersebut hendaknya memberikan masukan dalam evaluasi tersebut. Salah satu conto pengukuran itu adalah berapa banyak lulusan suatu sekolah diterima di perguruan tinggi atau berapa banyak yang diterima di dunia kerja.



E. Fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab XV Bagian Ketiga Pasal 56 ayat 1-4 dikemukakan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah sebagai berikut.
  • Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
  • Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
  • Komite Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
  • Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud ayat 1, 2 dan 3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selain itu peranan komite sekolah adalah sebagai berikut (Trimo, 2008:2).
Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
  • Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud financial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan,
  • Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
  • Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas no. 044/U/2002).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan adalah aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bidang pendidikan dengan tujuan untuk memajukan pendidikan dengan cara memberikan bantuan dana, pemikiran, pengawasan, pengevaluasi, perencana, serta pelaksana, pengguna pendidikan dan sebagai sumber belajar. Masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam pendidikan baik melalui jalur organisasi perusahaan, dewan pendidikan, komite sekolah atau apa saja asalkan dalam rangka perbaikan mutu pendidikan.

B. Saran

Kepada masyarakat agar dapat memberikan sumbangsihnya terhadap dunia pendidikan baik yang tergabung dalam organisasi perusahaan, dewan pendidikan, komite sekolah atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya sehingga percepatan pertumbuhan dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia akan nampak dan membuahkan hasil yang juga untuk masyarakat itu sendiri.